Masafumi Matsui/Amir Hamidy
Lengan Hylarana rawa terlihat kekar karena adanya humeral gland.
Deputi Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Menteri Lingkungan Hidup Arief Yuwono mengatakan bahwa dalam jalur legal saja, banyak peneliti asing yang mengajukan diri melakukan riset biodiversitas Indonesia.
"Sekitar 70 persen dari 500 proposal penelitian yang masuk adalah penelitian biodiversitas," kata Arief.
Biodiversitas yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkaya kedua diincar sebab dapat menjadi peluang bisnis. Sumber daya alam Indonesia bisa diolah menjadi bahan obat yang jika dipatenkan bisa mendatangkan keuntungan miliaran rupiah.
Diambilnya sumber daya alam dan pengetahuan tradisional oleh asing menjadi perhatian karena selama ini tidak ada pembagian keuntungan. Pihak asing menuai untung besar karena pematenan dan penjualan sementara Indonesia ataupun masyarakat adat yang memiliki pengatahuan tak dapat apa pun.
"Ini tidak adil," kata pakar hukum Universitas Padjadjaran, Miranda Risang Ayu, dalam diskusi "Perkembangan Ratifikasi Protokol Nagoya" di Jakarta, Selasa (5/2/2013).
Risang mengungkapkan, sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional Indonesia memerlukan perlindungan. Perlindungan tersebut bisa diupayakan dengan meratifikasi Protokol Nagoya yang telah ditandatangani sebelumnya oleh Menteri Lingkungan Hidup.
"Protokol Nagoya kuat sebab menyebut soal benefit sharing," katanya.
Agar sumber daya genetik terlindungi, ratifikasi juga perlu ditindaklanjuti dengan inventarisasi sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. Perlu national focal point yang mengelola data sumber daya tersebut. Tanpanya, ratifikasi sia-sia.
Inventarisasi kekayaan genetik perlu dukungan masyarakat. Anggota Komisi VII DPR, Satya Widya Yudha, mengatakan, "Masyarakat perlu menyadari bahwa sumber daya yang dimiliknya berharga."
0 comment:
Post a Comment