Sekilas, bangunannya tidak kalah megah daripada Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Siapa sangka kompleks bangunan di persimpangan Jalan Arteri Siak II Labuh Baru, Payung Sekaki, Pekanbaru, itu hanya terminal bus. Sayang, terminal bus yang konon termegah di Indonesia tersebut lengang.
Namanya sama dengan lokasinya. Terminal Bandar Raya Payung Sekaki (BRPS). Bentuknya khas dengan gerbang kokoh berpilar tiga. Siapa saja yang sempat mengunjunginya bakal berdecak kagum. Kondisinya jauh dari kesan kusam yang sering diidentikkan dengan terminal bus selama ini.
Fasilitas di dalamnya tidak kalah mentereng dan komplet. Toiletnya bersih. Selain itu, ada musala, sejumlah kios dan kantin, ruang informasi dan pengaduan, warung telepon, tempat penitipan barang, serta kantor organisasi angkutan darat.
Yang mungkin tidak ditemukan di terminal bus lain, disediakan penginapan bagi penumpang yang kemalaman. Kapasitasnya sekitar 50 orang, terdiri atas kamar VIP dan kelas ekonomi.
Tarif semalam untuk kelas biasa Rp 40.000-Rp 60.000, sedangkan VIP di atas Rp 100 ribu. “Kalau ada penumpang sampai di terminal pukul tiga dini hari dan tidak ada yang menjemput, mereka bisa menginap dulu di penginapan. Bisa pakai hanya untuk empat jam. Sehingga, pukul tujuh pagi dia bisa ke tempat yang dituju,” ungkap Marjohan, staf administrasi Terminal BRPS.
Dengan berbagai fasilitas dan kemegahan tersebut, tidak heran Kepala Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru Pria Budi mengungkapkan bahwa tempat itu adalah terminal bus termegah se-Indonesia. Terminal yang dibangun dengan dana Rp 57 miliar tersebut belum punya tandingan.
Namun, semua kesempurnaan itu terusik saat melihat betapa lengangnya terminal itu. Sulit menemukan aktivitas jual beli tiket antara penumpang dan penjual tiket.
Para penjual tiket yang seharusnya berada di dalam loket memilih nongkrong di luar. Duduk-duduk termenung, sesekali ngobrol dengan penjual tiket lainnya, atau menerima telepon.
Edy Naro, penjual tiket PO Gumarang, dan Yanti, mengungkapkan, sejak terminal bus dipindahkan dari Jalan Tuanku Tambusai ke terminal termegah itu, aktivitas terminal kerap sepi. Kalaupun ada, jumlah pembeli tiket di tempat tersebut bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.
Kebanyakan penumpang membeli tiket via telepon atau langsung ke kantor mereka di luar kawasan terminal. “Kalau di kantor, aktivitas jual beli tiket sama seperti pasar malam. Tapi, di sini, ya beginilah,” ungkap Yanti yang saat ditemui sedang duduk santai menyelonjorkan kaki.
Lengangnya terminal itu merupakan buah tidak adanya kendaraan umum yang masuk ke tempat tersebut. Lokasi terminal itu memang agak terisolasi. Meskipun, jaraknya dari pusat kota sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar 3-5 km saja.
Hanya, karena bangunan seluas tujuh hektare itu berdiri sendiri, segala sesuatunya menjadi sepi. “Pernah suatu kali motor saya mogok. Saya naik angkutan umum, naik opelet. Hampir tiga jam saya berdiri di depan Hotel Linda dekat terminal lama, tidak ada satu opelet pun yang mau melayani rute tersebut,” keluh Yanti menceritakan pengalamannya.
Yanti juga bercerita pernah suatu kali dibohongi sopir opelet. Sopir opelet jurusan Panam tersebut berjanji lewat terminal AKAP. Tetapi, kenyataannya, sesampai di Mal Ska, dia diturunkan. Akibatnya, dia bertengkar dengan sopir opelet itu dan menolak membayar. “Itulah, Dik, sulit untuk ke sini. Kan tidak semua orang punya motor,” ujarnya.
Yanti yang telah bekerja di terminal sejak 1997 tersebut menyatakan tidak mengandalkan penjualan tiket dari penumpang yang datang ke terminal, melainkan lewat telepon. “Saya sering bagi-bagi kartu nama ke orang-orang. Orang-orang itulah yang menelepon saya kalau butuh tiket. Kadang, saya juga beri fee kepada mereka yang bisa mencarikan penumpang, sekadar uang rokok,” imbuh ibu dua anak tersebut menceritakan taktiknya menjual tiket.
Buntut panjang semua itu, berdiri sejumlah terminal bayangan tak jauh dari tempat tersebut. Salah satu terminal bayangan paling top terletak di depan Tabek Gadang, Jalan Soebrantas, Panam. Meskipun Dinas Perhubungan Kota Pekanbaru terus-menerus merazia tempat itu, terminal bayangan tersebut kembali hadir saat petugas pergi. Di situlah bus-bus menaikkan penumpang. Mereka mampir ke Terminal BRPS sekadar untuk mendapatkan stempel cap jalan.
Banyaknya terminal bayangan itu akhirnya berdampak balik, yakni kian menyepikan Terminal BRPS. Kendaraan umum yang dulu satu per satu masih mau melayani rute tersebut, karena ada peraturan menurunkan dan menaikkan penumpang harus di terminal, terpaksa meninggalkan Terminal BRPS.
Pria Budi menyebutkan sudah kerap merazia dan memberikan sanksi tegas bagi bus-bus yang kedapatan menaikkan penumpang di terminal bayangan. Bus-bus itu langsung ditahan, lalu ditilang. Proses tilang juga lewat mekanisme pengadilan.
“Jadi, kurang tegas apa lagi dan kami mau bagaimana lagi? Kami sudah bangun terminal bagus. Bahkan, terbagus se-Indonesia. Para penumpang juga mendapatkan kenyamanan di tempat itu. Coba, pernah dengar tidak di tempat tersebut ada pencopet. Kalau terminal lama kan banyak pencopetan. Masyarakat dan agen-agen bus, bekerjasamalah untuk memanfaatkan terminal itu,” ucapnya.
Pria Budi berharap, terminal termegah se-Indonesia tersebut benar-benar bisa dimanfaatkan secara maksimal. Selain menertibkan kota, keberadaannya penting bagi kebanggaan Kota Pekanbaru
0 comment:
Post a Comment