Berhubung ternyata kemarin banyak temen gue yang ngaku belum pernah nonton Jermal (judul internasional: Fishing Platform), maka sekarang gue mau nulis sedikit tentang film itu. Pertama kali nonton Jermal itu di base-camp Salman Films, awalnya sih bingung juga “Ini film apa?”, tapi setelah melihat fakta bahwa film tidak laku di dalam negeri (kabarnya sih cuma sebentar ada di Blitz Megaplex) gue baru yakin ini film bagus. Sebab di Indonesia itu salah satu indikator film bagus atau tidak adalah dengan melihat jumlah hari pemutaran di bioskop dan jumlah masyarakat yang kenal film itu. Beneran lho. Di Indonesia, kalau film bagus pasti di bioskopnya nggak lama, nggak pake bintang porno, dan sedikit orang yang tahu. Kalau film jelek, ya tentu sebaliknya…
Mau bukti kalau film ini tidak dihargai di negeri sendiri? Gini aja deh, sampai sekarang gue nggak habis pikir, kenapa film yang bisa menyabet penghargaan The Golden Crow Pheasant Award (best feature film) dan NETPAC Award (best film in the competition section from Asia) di Kerala International Film Festival plus penghargaan sebagai Best Film di Milan African Film Festival, ternyata cuma dapat… NOMINASI pemeran utama dan tata artistik di FFI 2009? What the f**k! Gue inget banget, juara FFI 2009 di kedua kategori itu adalah film Identitas (Aria Kusumadewa, 2009) yang—oke it’s debatable—buat gue, Identitas nggak ada apa-apanya dibanding Jermal.
Menurut gue Jermal adalah film yang bagus baik dari sisi sinematografi, akting, ataupun cerita. Meskipun secara alur film ini termasuk lambat, tapi Jermal adalah salah satu film Indonesia yang aspek-aspek sinemanya lengkap, dan itu jarang banget lho!
Film ini sebenarnya “hanya” bercerita tentang hubungan antara ayah dan anaknya yang lama nggak ketemu, dan pertemuan pertama mereka terjadi di atas sebuah Jermal. Jadi si ayah, Johar (Didi Petet), pernah melakukan tindakan kriminal dua belas tahun lalu yang menyebabkan dirinya kabur dan tinggal di jermal. Sementara si anak, Jaya (Iqbal S. Manurung), baru saja kehilangan ibunya yang meninggal sehingga harus pergi ke jermal untuk menemui ayahnya. Itu saja sih, simple kan? Dua orang ketemuan… selesai? Hehe… nggak lah, menurut catatan gue ada tiga hal yang bikin film ini menarik:
Pertama, jelas tentang unsur budaya. Gue memang secara khusus tertarik dengan film/novel yang mengangkat budaya Indonesia, apalagi kalau budaya itu ternyata memang belum banyak yang tahu. Dalam film ini, untuk pertama kalinya gue ngeh bahwa ada benda yang namanya Jermal. Yah, mungkin gue memang kampungan, mungkin memang keberadaan jermal sendiri jarang diangkat di media manapun. (yang sering diangkat media kan kalau nggak skandal artis, paling kasus korupsi, atau partai-partai yang berantem)
Oke, balik ke cerita. Jadi Jermal adalah tempat penjaringan ikan yang berdiri di atas tonggak-tonggak di tengah laut. Banyak anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan di tempat tersebut. Dari situ saja gue sudah membayangkan betapa banyak konflik yang bisa diangkat dalam cerita. Sekilas sih banyak orang yang mikir kehidupan di atas jermal pastilah berjalan dengan sungguh lambat. Tidak ada drama dalam kehidupan seperti layaknya kehidupan manusia di tempat lain. Yang ada adalah rutinitas penjaringan ikan. Tapi kalau mau teliti, kita bisa dapat konflik-konflik buat bahan bikin cerita, misalnya bisa kasus pekerja di bawah umur, rasa rindu pada orang-orang di daratan, atau bahkan yang ekstrim-ekstrim macam: cinta sesama jenis. Hehehe…
Kedua, kebetulan gue memang suka film-film dengan setting tempat sederhana, seperti Burried (Rodrigo Cortés, 2010) atau Phone Booth (Joel Schumacher, 2002). Kalau seting nya simple, minimal beban penonton berkurang, tinggal ngikutin cerita dan ngapalin tokoh-tokohnya saja. Karena toh adegan berlangsung di situ-situ juga kan? Eh, pengecualian buat film Cube (Vincenzo Natali, 1997) sih, yang meskipun setingnya sederhana (cuma di dalam ruangan berbentuk kubus doang) tapi ceritanya ribet, soalnya genre Cube kanpsychological horror, ada unsur psikologinya yang bikin ribet gitu maksud gue…
Nah soal Jermal sendiri, tentu saja setingnya simple, kan yang namanya Jermal itu bener-bener di tengah laut. Cerita akan muter-muter di situ saja. Paling kalaupun pindah tempat ya cuma bisa antara dua ruangan dan dua teras terbuka tempat jemur ikan.
Cerita yang menarik, mengangkat sebuah budaya yang belum banyak orang tahu, plus seting tempat yang simple. Kurang apa lagi nih film!
Ketiga, masih ada lagi yang bikin gue suka sama film ini. Yaitu akting pemeran utamanya. Seperti yang kita tahu lah, akting memegang peranan yang penting banget buat sebuah film, dan filmmaker Jermal jelas berhasil men-direct para pemain di sana untuk tampil maksimal, padahal nyaris nggak ada aktor senior dalam Jermal kecuali Didi Petet dan Yayu Aw Unru (Om Yayu ini orang keren, dia ngerti banget soal akting tapi nggak maksa ngejar harus punya banyak film! Salut gue sama om Yayu! Beda kelas lah sama aktor kacangan yang aktingnya konyol tapi ngebanggain jumlah film dalam portofolio mereka!)
Tapi tentu catatan terpenting harus dialamatkan sama “aktor baru dan nggak terkenal” yang punya nama Iqbal S Manurung. Biar nggak gue terus yang berpendapat, ini langsung aja gue copy tulisan dari labirin filmtentang dia:
Sebagai seorang aktor di bawah umur, Iqbal menambah keyakinan saya akan sensitivitas tinggi yang dimiliki aktor anak-anak. Di luar negeri, mungkin kita sudah melihat banyak buktinya. Namun, di dalam negeri, masih sangat jarang aktor anak-anak yang kehadirannya kuat saat berakting. Dalam film ini, Iqbal menunjukkan bahwa untuk dianggap bisa berakting bukan berarti harus meluapkan emosi berlebihan seperti layaknya banyak aktor anak-anak lainnya. Satu adegan yang saya suka adalah saat Jaya ditelanjangi oleh anak-anak lainnya. Iqbal menunjukkan emosi Jaya di situ dengan natural. Ada rasa muak, benci, malu, dan amarah yang terlihat dari raut wajah dan matanya.
Dan kalimat itu nggak becanda. Kalau ada yang nonton filmnya dengan baik, maka mereka akan sadar bahwa betapa wajah Iqbal di awal film masih lembek dan menyedihkan, tapi di scene-scene akhir film wajahnya berubah jadi keras dan tangguh. Padahal siapapun yang pernah syuting film pasti tahu bahwa yang namanya pengambilan gambar pasti nggak dilakukan berurutan sesuai scene, tapi dilakukan sesuai seting tempat. Karena berat banget kalau harus mindah-mindahin barang setiap ganti scene kan?
Artinya bisa jadi—misalnya—di tempat yang sama, setelah pengambilan scene 15 yang mukanya lembek, berikutnya langsung scene 26 yang mukanya kelihatan keras. Kalau aktornya nggak latihan dulu dan nggak punya bakat akting gue jamin susah mengubah raut wajah hanya alam hitungan menit seperti itu.
Oke, segitu dulu tentang film Jermal, salah satu film hasil duet Rayya Makarim dan Orlow Seunke. Film Indonesia yang nggak dikenal di negeri sendiri. Gue tetap rekomendasikan film ini, silahkan dicari. Gue berani garansi… nggak akan rugi waktu dan—kalau misalnya beli DVD aslinya pun— nggak akan rugi duit deh
0 comment:
Post a Comment