Monday, 11 June 2012

6 Alasan Anak Tidak Menyukai Matematika

Kalau pada beberapa saat yang lalu saya memposting tentang 7 Tips Belajar Menyukai Matematika (terima kasih bagi temen2 yg sudah mau baca), maka pada kesempatan kali ini saya akan mencoba menggali alasan-alasan penyebab ketakutan anak terhadap pelajaran matematika (terbalik ya, harusnya penyebab dulu baru solusi…gpp kan, mang dah disengaja heheheh).

Apa yang saya sampaikan ini bukan merupakan hasil riset formal yang mendalam, akan tetapi didasarkan pada fakta menurut pengalaman empiris yang saya alami sebagai seorang guru matematika dan tentunya sebagai orang tua yang memiliki anak sebagai peserta didik disekolahnya.

Langsung saja ya, berikut 6 (enam) alasan anak tidak menyukai pelajaran matematika:

1. Gambaran yang menyeramkan tentang matematika, berakibat pada Fobia Matematika
Ka
lah sebelum bertanding, begitulah ungkapan yang mungkin pas. Atau menyerah sebelum berusaha dengan susah payah (tentu kalian tidak mau kan dibilang seperti ini…). Bayangan-bayangan atau informasi-informasi yang tidak benar dari luar diri anak (bisa teman, kakak, orang tua, atau bahkan guru dan lainnya) yang mencoba mendeskripsikan matematika sebagai sesuatu yang rumit (berkaitan dengan angka-angka), turut memberikan andil yang cukup signifikan bagi tumbuh suburnya phobia siswa pada matematika sebelum mengenalnya/mempelajarinya. Hal ini akan membuat siswa enggan untuk mengenal matematika dengan lebih baik (sekedar gugur kewajiban kali ya….).
Ya, bukan hanya takut, tepatnya phobia (wah…sedikit serius ini…bergaya ilmiah..hehehehe). Dalam kaca mata psikologis phobia adalah ketakutan neurotik berupa reaksi-emosional berlebihan yang tidak sebanding dengan rangsangan. Dengan kata lain penyebab rasa takut yang tidak obyektif dan tidak sebanding dengan resiko jika menghadapi bahaya atau rangsangan tersebut. Ketakutan seperti ini (Phobia) membuat seseorang melupakan penyebab obyektif dari rasa takut itu sendiri. Ga lucu kan kalau kalian takut sama ulat akan mengganggap mati jika melihat ulat. Begitulah kira-kira phobia terhadap matematika. Matematika belum-belum sudah dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan sebelum kalian mengenal matematika dengan baik.
Parahnya rasa takut terhadap pelajaran matematika (fobia matematika) ini sering kali menghinggapi perasaan para siswa dari tingkat SD sampai dengan
SMA bahkan hingga Perguruan Tinggi. Padahal, matematika itu bukan pelajaran yang sulit melainkan meyenangkan (bener kan....)

2. Bahasa penyampaian materi pelajaran yang sulit dimengerti
Penyajian materi pelajaran matematika dengan menggunakan bahasa yang menarik dan mudah dimengerti, bisa dipastikan membantu seorang anak menyukai matematika. Sebaliknya, pengunaan bahasa yang sulit dipahami, berbelit-belit dan tidak sistematis akan membuat sang anak sulit menerima “pesan” yang ingin disampaikan oleh guru.
Perasaan ingin dianggap ilmiah didepan siswa kadang menyebabkan guru menggunakan kata-kata yang sulit dipahami oleh siswa saat menyajikan materi. Ga hebat kan klu gaya berbahasa untuk mahasiswa dipakai saat ngajar anak SMP? Seorang komunikator yang baik adalah salah satunya bisa menyesuaikan gaya bahasa dengan audiencenya. Guru yang sukses bukan guru yang pinter buat dirinya sendiri, tapi guru yang bisa memintarkan murid-muridanya (kalian sepakat kan…). Kegagalan menangkap pesan yang berulang-ulang berujung kepada ketidakmengertian, kejenuhan dan bosan.

3. Kelas yang menegangkan
Kelas yang menegangkan membuat beban tersendiri bagi siswa. Perasaan tertekan dan takut akan menghambat penyerapan materi pelajaran oleh siswa. Alih-alih menyerap materi, yang terjadi adalah siswa berharap agar jam pelajaran cepat selesai dan merdeka…….Kelas yang demikian akan “membenarkan” kesan menyeramkannya pelajaran matematika bagi anak. Kelas rileks, sersan (serius tapi santai) harusnya menjadi pilihan guru dalam mengajar.

4. Guru matematika yang “menyeramkan”
Tidak seram-pun, kadang-kadang murid menganggap kita seram ketika label guru matematika melekat pada diri kita. Pemahaman arti wibawa yang kurang tepat menjadikan wibawa jadi seram, yang menyebabkan ketakutan bukan simpati. Hukuman yang sok feodal dengan terapi yang berorientasi fisik dan tidak mendidik memberi efek jerak yang kurang konstruktif. Kesan seram saja sudah membuat murid lari jadi apalagi benar-benar seram.

5. Kurangnya penguasaan materi pelajaran matematika oleh guru
Bisa dibayangkan kalau seorang siswa bertanya pada gurunya tentang materi pelajaran dan sang guru tidak bisa menjawab atau menjawab seadanya, pasti siswa akan kecewa dan kepercayaannya kepada intelektualitas sang guru menjadi berkurang. Kalau sudah demikian siswa akan “menyepelekan” guru, dan payahnya bisa-bisa memicu ketidaksukaannya pada pelajaran matematika. Ingat anak lebih percaya kepada guru daripada orangtuanya.

6. Penyajian materi pelajaran yang kurang menarik
Penyajian materi berulang, tidak kreatif dan monoton menyebabkan kebosanan yang jika berulang-ulang akan menjadi ketidaksukaan anak pada pelajaran matematika. Komunikasi yang hanya searah dari guru ke siswa, kurang mempertimbangkan keberadaan siswa/tidak melibatkan siswa selama proses belajar mengajar membuat berkurangnya perghargaan guru kepada siswa. Seharusnya seorang guru membuat siswa merasa berharga dengan pelibatan dirinya secara aktif selama proses belajar mengajar.
Rendahnya kreatifitas guru dalam membuat soal (hanya mengacu pada buku melulu) dan pemecahan soal yang tidak kreatif juga kurang menarik bagi siswa dan pemicu kebosanan.
Disamping itu jauhnya jarak yang dibuat oleh guru antara matematika dengan dunia keseharian anak akan membuat matematika seperti di awang-awang dan teoritis yang membuat anak sulit memahami matematika. Dalam menjelaskan dan membuat contoh soal buatlah matematika dekat dengan keseharian anak.
Penekanan pada hal-hal yang dianggap penting dan pengulangan pada bagian-bagian yang dianggap perlu harus menjadi perhatian bagi para guru saat mengajar.
Nah, jangan ciptakan kesan matematika itu sulit, tapi mari mulai belajar menyukai matematika.....salam

0 comment:

Post a Comment